Menyikapi kegagalan menurut Islam
Menyikapi kegagalan menurut islam kita tidak akan pernah belajar untuk menjadi berani dan sabar jika yang kita temukan di dunia ini hanyalah sukacita sebuah kalimat yang pastinya kita setuju bersama kebenarannya, hidup yang kita jalani dipenuhi rintangan dan membutuhkan kekuatan diri untuk keluar dari rintangan yang menghadang kesulitan ekonomi, penderitaan, dan ketidaksesuaian harapan dengan kenyataan adalah bentuk kongkrit rintangan tersebut bagi orang yang lemah jiwanya, rintangan dipahami sebagai batu sandungan yang sulit dilalui fenomena bunuh diri, misalnya, notabene diinisiasi kelemahan jiwa semacam ini karena impitan ekonomi, tak sedikit bunuh diri menjadi jalan menyelesaikan masalah kehidupan
Menyikapi kegagalan menurut Islam
Ayat yang saya kutip di atas memberi pesan: kerapuhan jiwa dapat mengakibatkan lahirnya keluh kesah yang tak produktif. Ketika kesusahan hidup menerpa, tali kekang moral agama menjadi longgar. Tak ayal lagi, kehidupan menjadi barang murah yang sedemikian tak berharga untuk dijaga kelangsungannya. Seorang gadis, rela melompat dari gedung bertingkat hanya diakibatkan masalah sepele: putus dengan kekasihnya. Seorang pengusaha melakukan hal yang sama, karena sedang menghadapi kemelut masalah di perusahaannya. Mereka memahami hidup hanya dengan menggunakan rumus keinginan mesti berbuah kenyataan.
Padahal rumus kehidupan tidak seperti itu. Adakalanya keinginan melahirkan kegagalan atau ketidaksesuaian dengan realitas hidup. Maka sewajibnya moralitas agama diperkokoh kembali dalam diri kita. Sehingga hidup mewujud dalam bentuk yang asyik-masyuk. Ruang dan waktu yang dijalani dengan keikhlasan penuh bahwa Dia (Allah) sedang menguji kadar keimanan kita pada-Nya. Ingat, lemparan batu tentu saja tidak semuanya akan mengenai target yang sama. Artinya, pengharapan adakalanya tidak sesuai dengan yang kita rancang. Pada posisi ini, kesabaran dan ketabahan merupakan benteng pertahanan yang super-duper efektif meredam keinginan mengakhiri hidup kala masalah menerpa.
Seorang muslim sejati, adalah individu yang dapat mengoptimalkan potensi diri untuk mewujudkan harapan, tanpa terpaku pada hasil. Dia (Allah) akan memberikan berkah tak terkira meskipun harapan itu gagal terwujud. Karena dengan kegagalan tersebut, kita dapat mempelajari kekurangan sehingga di lain waktu dapat dikurangi. Inilah letak keberkahan tak terkira. Kita, dengan kegagalan yang menimpa akan membentuk jiwa hingga menjadi kokoh. Alhasil, muncul sikap hati-hati, awas dan waspada ketika menyusun program kerja kehidupan. Dalam pepatah disebutkan, seorang manusia bijaksana adalah orang yang tidak akan terperosok pada lubang yang sama.
Term “takwa” memiliki arti dasar, sebuah ketakutan jiwani. Ketika rasa takut dikelola secara bijak, positif dan sistematis, tentunya lahirlah sebuah kondisi psikologis yang awas dan waspada. Namun, ketika perasaan takut tidak dikelola secara bijak, positif dan sistematis akibatnya akan melahirkan keluh kesah, putus asa, dan bosan menjalani kehidupan. Tak heran kalau bunuh diri menjadi solusi pavorit orang semacam ini. Kekuatan dalam dirinya telah hilang dan berangsur-angsur membawanya jadi zombie yang tak sadar antara ide dan realitas kadang tidak sesuai.
Danah Zohar dan Ian Marshall (Spiritual Capital, Mizan, 2006) mengatakan untuk menjalani kehidupan diperlukan keberanian mengubah pola pikir mengenai pondasi filosofis dan praktik keseharian. Khusus di dunia bisnis, katanya, selain modal intelektual (intellectual capital), modal manusia (human capital), dan modal sosial (social capital); tahap yang lebih maju adalah adanya modal spiritual (spiritual capital). Di mana sebuah aktivitas tidak melulu dipahami sebagai keuntungan dan laba material. Tapi keuntungan yang lebih mengarah pada terciptanyanya makna, nilai, pengetahuan dan ilmu.
Begitu pun dalam praktik keseharian, kita mesti memompa potensi diri sehingga terbentuk “modal spiritual” agar dapat memahami hidup sebagai ladang beramal saleh. Tanpa memiliki modal seperti ini, mind set kita akan menempatkan hidup sebagai barang murah yang dapat diakhiri dengan bunuh diri. Pola pikir seperti inilah yang mesti ditumpurludeskan dari dalam diri. Pesimisme dalam Islam tak dianjurkan. Seperti diungkapkan Buya Safi’i Ma’arif, kalau saja Al-Quran mengajarkan doktrin pesimisme, saya orang pertama yang mendukung. Sayangnya, Al-Quran (Islam) hanya mengajarkan doktrin kehidupan optimisme.
Masa depan merupakan “bumbu kehidupan” yang dapat melecut gairah menjalani realitas kehidupan. Kewajiban kita sebagai manusia beragama salah satunya menabur benih-benih optimisme guna menggapai keberkahan hidup. Bukankah Al-quran mengingatkan, “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.”(QS. Al-Hasyr [59]:18). Wallahua’lam
Demikianlah ulasan saya mengenai Menyikapi kegagalan menurut Islam semoga dapat bermanfaat.
Sumber
Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah, dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat tidak mau menyampaikannya kepada orang lain (kikir).” (QS. Al-Maa’arij [70]:19-21)
Menyikapi kegagalan menurut Islam
Ayat yang saya kutip di atas memberi pesan: kerapuhan jiwa dapat mengakibatkan lahirnya keluh kesah yang tak produktif. Ketika kesusahan hidup menerpa, tali kekang moral agama menjadi longgar. Tak ayal lagi, kehidupan menjadi barang murah yang sedemikian tak berharga untuk dijaga kelangsungannya. Seorang gadis, rela melompat dari gedung bertingkat hanya diakibatkan masalah sepele: putus dengan kekasihnya. Seorang pengusaha melakukan hal yang sama, karena sedang menghadapi kemelut masalah di perusahaannya. Mereka memahami hidup hanya dengan menggunakan rumus keinginan mesti berbuah kenyataan.
Padahal rumus kehidupan tidak seperti itu. Adakalanya keinginan melahirkan kegagalan atau ketidaksesuaian dengan realitas hidup. Maka sewajibnya moralitas agama diperkokoh kembali dalam diri kita. Sehingga hidup mewujud dalam bentuk yang asyik-masyuk. Ruang dan waktu yang dijalani dengan keikhlasan penuh bahwa Dia (Allah) sedang menguji kadar keimanan kita pada-Nya. Ingat, lemparan batu tentu saja tidak semuanya akan mengenai target yang sama. Artinya, pengharapan adakalanya tidak sesuai dengan yang kita rancang. Pada posisi ini, kesabaran dan ketabahan merupakan benteng pertahanan yang super-duper efektif meredam keinginan mengakhiri hidup kala masalah menerpa.
Seorang muslim sejati, adalah individu yang dapat mengoptimalkan potensi diri untuk mewujudkan harapan, tanpa terpaku pada hasil. Dia (Allah) akan memberikan berkah tak terkira meskipun harapan itu gagal terwujud. Karena dengan kegagalan tersebut, kita dapat mempelajari kekurangan sehingga di lain waktu dapat dikurangi. Inilah letak keberkahan tak terkira. Kita, dengan kegagalan yang menimpa akan membentuk jiwa hingga menjadi kokoh. Alhasil, muncul sikap hati-hati, awas dan waspada ketika menyusun program kerja kehidupan. Dalam pepatah disebutkan, seorang manusia bijaksana adalah orang yang tidak akan terperosok pada lubang yang sama.
Di dalam Al-quran dijelaskan, “Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan (memberi potensi) pada jiwa kefasikan (pengingkaran terselubung) dan ketakwaan. Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa dan merugilah orang yang mengotorinya.” (QS. Asy-Syams [91]: 7-10).
Term “takwa” memiliki arti dasar, sebuah ketakutan jiwani. Ketika rasa takut dikelola secara bijak, positif dan sistematis, tentunya lahirlah sebuah kondisi psikologis yang awas dan waspada. Namun, ketika perasaan takut tidak dikelola secara bijak, positif dan sistematis akibatnya akan melahirkan keluh kesah, putus asa, dan bosan menjalani kehidupan. Tak heran kalau bunuh diri menjadi solusi pavorit orang semacam ini. Kekuatan dalam dirinya telah hilang dan berangsur-angsur membawanya jadi zombie yang tak sadar antara ide dan realitas kadang tidak sesuai.
Danah Zohar dan Ian Marshall (Spiritual Capital, Mizan, 2006) mengatakan untuk menjalani kehidupan diperlukan keberanian mengubah pola pikir mengenai pondasi filosofis dan praktik keseharian. Khusus di dunia bisnis, katanya, selain modal intelektual (intellectual capital), modal manusia (human capital), dan modal sosial (social capital); tahap yang lebih maju adalah adanya modal spiritual (spiritual capital). Di mana sebuah aktivitas tidak melulu dipahami sebagai keuntungan dan laba material. Tapi keuntungan yang lebih mengarah pada terciptanyanya makna, nilai, pengetahuan dan ilmu.
Begitu pun dalam praktik keseharian, kita mesti memompa potensi diri sehingga terbentuk “modal spiritual” agar dapat memahami hidup sebagai ladang beramal saleh. Tanpa memiliki modal seperti ini, mind set kita akan menempatkan hidup sebagai barang murah yang dapat diakhiri dengan bunuh diri. Pola pikir seperti inilah yang mesti ditumpurludeskan dari dalam diri. Pesimisme dalam Islam tak dianjurkan. Seperti diungkapkan Buya Safi’i Ma’arif, kalau saja Al-Quran mengajarkan doktrin pesimisme, saya orang pertama yang mendukung. Sayangnya, Al-Quran (Islam) hanya mengajarkan doktrin kehidupan optimisme.
Masa depan merupakan “bumbu kehidupan” yang dapat melecut gairah menjalani realitas kehidupan. Kewajiban kita sebagai manusia beragama salah satunya menabur benih-benih optimisme guna menggapai keberkahan hidup. Bukankah Al-quran mengingatkan, “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.”(QS. Al-Hasyr [59]:18). Wallahua’lam
Demikianlah ulasan saya mengenai Menyikapi kegagalan menurut Islam semoga dapat bermanfaat.
Sumber
0 komentar:
Posting Komentar